Selasa, 05 Januari 2016

Dektetif Engkel 008 eps: Pilihan terakhir



Suara tangis bayi lantang terdengar seakan-akan ia tidak rela lahir kedunia ini yang penuh ketidak benaran dan ketidak adilan. Tangisan itu seolah-olah meronta untuk melepaskan diri dari kepongahan, kesombongan dan rasa paling benar.

Tidak dengan orang-orang yang berada disisinya. Mereka tertawa menyambut kedatangan sang bayi terlahir kedunia ini. Sumringah pun terpancar dari raut wajah sang ibu bayi walaupun tampak mimik bingung. Pak Subir mencoba mendekati telinga sang bayi mungil. Seperti adat biasa, Pak Sibir meng-azankan telinga sebelah kanan telinga bayi dan meng-ikomahkan di telinga kiri.


Selesai sudah proses persalinan Ibu Mira. Ia sangat bahagia dapat melahirkan dengan selamat meskipun tidak dihadiri seorang suami, setidak-tidaknya masih ada yang perduli kepadanya untuk memberikan pertolongan terutama Pak Sibir sang supir angkutan umum dan para penumpangnya pada ketika itu bahu-membahu untuk membantu Ibu Mira kerumah sakit.( Baca Kisah Yang Lalu )

"Ibu-Bapak saya ucapkan terima kasih atas pertolongan ibu-bapak kepada saya!" Ibu Mira berujar. Orang-orang yang menyaksikan hanya mengangguk lalu tersenyum. Mereka juga bahagia di hari ini dapat pengalaman dan peristiwa yang menggelitik dihati mereka.

"Biar nanti seluruh biaya rumah sakit saya yang tanggung!" Yang berkata adalah Pak Sobari. "Ya, saya juga turut menyumbang walaupun gak seberapa he .. he... he ..." sahut seorang Pemuda menyeringai. "Sedangkan aku biar yang menjaga Ibu Mira sampai di bolehkan pulang dari rumah sakit!" Pak Sibir menimpali.

"Ah-alangkah baiknya kalian kepadaku!" kata Bu Mira, "Oh yah, aku ingin anakku bernama yang ... yang ...!" Bu Mira terlupa nama yang diberikan oeh Pak Sobari ketika ia masih di atas bak mobil engkel. 

"Sibir Engkel!" ujar Pak Sobari cepat.

"Iya itu aku suka." kata Ibu Mira .

"Kenapa harus namaku dicantumkan!" berkata Pak Sibir menyeringai.

"Pak Sibir!" panggil Pak Sobari. "Karena peristiwa itu di mobil Pak Sibir  yang kebetulan nama supirnya Sibir. Dan lahirnya di mobil engkel, jadi ... Saya rasa nama Sibir Engkel itu bagus!"

Mendengar penuturan Pak Sobari yang mendengarkan tersenyum-senyum, tiba-tiba ada yang menyahut. "Bagaimana kalau di kasih angkanya di belakang. Saya punya usul, karena kejadiannya jam 8 pagi bagaimana namanya itu Sibir Engel 008!" yang menyahut itu adalah sang Pemuda.

"Wah ... kereen bingiit ... Sibir Engkel 008!" celetuk seorang gadis yang turut serta dalam mengantarkan Ibu Mira kerumah sakit, "keyen ... keyen ..." katanya lagi.

Lalu Pak Sobar menuju kedepan sambil menggendong anak itu yang sudah di resmikan dengan nama:

SIBIR ENGKEL 008

"Mari bapak-bapak, ibu-ibi, kita berdoa bersama untuk anak lelaki ini dari Ibu Mira agar menjadi anak yang sholeh, berbakti kepada Bangsa dan Negara, dan yang terpenting adalah patuh dan hormat kepada orangtuanya. Kelak kalau sudah dewasa!" ujar Pak Sobari semangat.

"Amiiin ..." sontak semua yang hadir mengaminkan.

Lanjut Pak Sobari: "Ya Allah, jadikanlah anak ini menjadi anak yang sholeh, berbakti pada Bangsa dan Negaranya, Agamanya dan taat kepada kedua orangtuanya. Ya Allah berikanlah kekuatan pada anak ini agar kelak sudah besar nanti menjadi anak yang berani dalam mencegah nahi dan mungkar, mencegah segala kejahatan di dunia ini. Menjadi jagoan membela yang benar dan yang lemah. Amiin ..."

"Aminn .... Ya Allah ... " 

6 Tahun Kemudian

"Ibu, Engkel main dulu yah!" kata anak itu yang tidak lain Sibir Engkel 008, Ia sudah tumbuh besar dan sehat. Tubuhnya gemuk namun tidak (). Anak itu sangat sayang kepada ibunya. Buktinya ia jarang sekali minta jajan kecuali kalau sang Ibu terlihat mempunyai uang lebih. Sang Ibu pun tak sayang jika mendapatkan rezeki lebih dari hasil jualan kue keliling.

Sudah 6 tahun Ibu Mira hidup sendiri tampa seorang suami. Ia selalu setia kepada sang suami yang mendekam dijeruji penjara akibat kasus Narkoba. Ia sadar betul sang suami belum menceraikannya walaupun godaan dari luar terus menyambanginya. Banyak lelaki yang ingin meminangnya, semuanya itu ditolak, karena sang suami belum menceraikannya secara lisan.

"Ibu!" Engkel memanggil. 

"Kenapa Nak?" Ibu Mira menyahut.

"Engkel punya Bapak gak sih!" Engkel bertanya seperti itu, "temen-temen Engkel pada punya Bapak, sedangkan Engkel hanya punya Ibu, Bapak kemana Bu?!"

Bu Mira terhenyak hatinya ketika Engkel bertanya siapa Bapaknya. Bu Mira tak langsung menjawab, ia menundukkan wajah. Dihatinya tidak mungkin ia menceritakan prihal Ayahnya, itu akan menjadi momok bagi Engkel sendiri.

Tiba-tiba Bu Mira hatinya berguncang, ia tak ingin seperti ini terus. Bu Mira harus berani mengambil keputusan. Yah apakah ia harus berterus terang pada Enggkel. Atau apakah ia harus minta cerai dari sang suami yang berada di penjara. "Bu ...!"

Sentak Engkel membuat Bu Mira terperanjat dari lamunannya. "Eh iya Nak Apa?" 

"Ya sudah kalau bu gak mau menjawab. Biar Engkel aja yang mencari jawabannya, Engkel tahu pasti Ibu menyembunyikan rahasia ini pada Engkel. Sudah jangan Ibu pikirin, ga papa kok!" Engkel mengusap lengan sang Ibu. Bu Mira hanya tersenyum meski hatinya masih gamang.

"Sana main!" suruh Bu Mira mengalihkan, "noh Fajar lagi nunggu kamu main kelereng." 

"Iya Bu!" Engkel segera beranjak dari sisi Ibunya, lalu menyambangi Fajar yang sedari tadi menunggu Engkel untuk bermain kelereng.

Tetapi Engkel masih penasaran untuk mengetahui siapa Ayahnya. Dia pun berniat mencari siapa Ayah kandungnya dengan cara sendiri.

"Engkel!" pangil anak perempuan bernama Upik. "Lagi apa kamu?"

"Eh Upik, ini kami sedang main kelereng, kamu mau ikut?" Upik menggelengkan kepala. "Hayo main ... mudah kok cara menyentilnya, nanti aku ajarin!"

"Aku kan anak perempuan, masa main kelereng gak pantas lah!" jawab Upik semangat. "Kalau main galaxin aku bisa. Bagaimana kita main galaxin aja!" 

"Jangan!" bentak Fajar. "Sudah kamu main sama Siti aja, sama-sama perempuan, main congklak gih!" seru Fajar dengan maksud agar jangan menggangu Engkel bermain kelereng dengannya.

"Ya sudah, aku juga gak mau main sama cowok, aku lebih suka main sama Siti sama-sama anak perempuan." Sehabis berkata demikian, Upik segera berlari menuju Siti. Tapi ketika sampai kerumah Siti, ternyata Siti sedang menangis di depan pintu. 

"Sitii ... main nyu ...!" kata Upik, "loh ... kenapa menangis?" Upik bertanya.

"Aku dimarahi sama Ayahku!" Siti menjawab sambil mengusap air matanya.

"Kenapa di marahi?" tanya Upik kembali. 

"Minta uang buat jajan, malah di beliin rokok sama ayahku." keluh Siti. "Padahal aku dari pagi gak jajan ... hikz ... hikz ... hikz ..."

"Sudah, kebetulan aku punya uang banyak, kita jajan nyu, aku bayarin!" ujar Upik sambil merangkul Siti yang masih menangis. Siti mengangguk lalu ia berjalan bersama Upik menuju warung.

Disaat Upik dan Siti sedang kewarung. Engkel dan Fajar melihat mereka langsung memanggil. "Eh-Upik, Siti mau kemana?!" pekik Engkel. 

"Mau jajan ke warung?" Upik menjawab keras. Mereka Fajar dan Engkel berkata berbarengan "Ikuuuut ....!"

Upik adalah anak yang baik. Dia dari keluarga berada secara materi, sehingga tidak pernah kekurangan jajan sehari-hari. Tidak seperti Siti, Dia dari anak keluarga kurang mampu. Ayahnya tidak bekerja. Sehari-hari kerjaannya hanya menjadi tukang parkir. Punya uang lebih tidak lekas diberi ke istri untuk jajan anaknya. Tapi malah di pakai poya-poya bersama teman-temannya untuk pesta minuman keras. 

Terkadang Siti mendapatkan perlakuan kurang baik dari Ayahnya. Dan sering mendapatkan pukulan bahkan cacian dengan kata-kata yang kurang pantas keluar dari mulut sang Ayah. Bukan hanya Siti yang mendapatkan pukulan atau caci maki, tetapi sang Istri pun, ibunya Siti sering sekali mendapatkan pukulan dari suami jika pulang berjudi dalam keadaan mabuk.

Sedangkan Upik anak yang pintar sebagaimana anak-anak dari kalangan berada. Ia di sekolahkan di tempat khusus Bimbel yang sudah tentu menambah biaya yang tidak sedikit. Dan juga Upik tidak merasa kurang dalam jajan sehari-harinya. Oleh karena itu Upik sangat baik kepada teman-temannya. Ia sering membelikan makanan kepada ketiga temannya itu, Siti, Engkel dan Fajar.

Sedangkan Fajar anak dari kalangan sederhana dan Santri. Kedua orang tuanya mempunyai agama yang kuat dalam menjalankan itoqodnya. Namun sayang kedua orang tuanya kurang bersosialisasi kepada tetangga. Dan Fajar mempunyai watak keras. Ia mudah marah dah bernada membentak jika berbicara.

Seperti biasa Upik selalu men-jajani ketiga kawannya itu, serentak Fajar dan Engkel mengekori Upik san Siti untuk kewarung, dengan maksud agar Upik membelikan mereka.

"Eh-sebentar!" kata Fajar kepada Engkel, "Sepertinya di pipi sebelah kiri Siti berwarna biru. Pasti kena pukul Ayahnya lagi." Memang benar apa yang dikatakan Fajar. Tampak luka memar disebelah pipi kiri Siti. Melihat itu Engkel bertanya.

"Emang ayahnya suka mukul seperti itu!" 

"Iya Kel, ayahnya galak suka mabuk!" Fajar berujar.

"Wah kasihan sekali si Siti!" Ucap Engkel berseru. Namun di dalam hatinnya Engkel berkata, "Dia masih beruntung mempunyai Ayah, sedangkan aku belum tahu siapa Ayahku."

Upik berkata kepada Siti. "Kamu mau beli apa Siti? Ambil aja nanti aku yang bayarin!" Lalu Siti pun tengak-tengok, banyak makanan yang membuat Siti ingin semuanya tapi tidak mungkin dia minta makanan yang mahal-mahal. Ia hanya dibelikan oleh Upik.

Sementara itu Fajar dan Engkel hanya memandang Upik. Melihat mereka melongo melihat saja tidak membeli, upik pun berucap. "Kenapa kalian diam aja. Aku tahu kalian mau minta dibelikan kan?!" 

Fajar dan Engkel hanya mesem-mesem menyeringai. 

"Ya sudah ambil apa yang kalian mau. Tapi jangan yang mahal, yang seribuan aja!" ujar Upik.

"Terima kasiih ...!" ujar Fajar dan Engkel sumringah. Mereka lekas mengambil permen dengan harga masing-masing seribu rupiah. Siti pun senang di belikan oleh Upik seharga dua ribu rupiah. Tak lama kemudian mereka pun bermain bersama. 

Permaianan yang sangat tradisional seperti galaxin, ketok lele, benteng dan ular naga panjanganya. Permainan yang sudah tidak ada lagi dimainkan generasi sekarang. Sedangkan di zaman sekarang yang serba canggih dan instan banyak anak-anak bermain tampa harus keluar rumah dan bersosialisai terhadap sesama. Seperti game on line dan sebagainya.

Upik, Siti, Fajar dan Engkel asik bermain galaxin. Mereka sangat mahir dalam memainkannya. Tertawa dengan riang gembira ketika ada salah satu salah satu dari mereka ada yang jaga. 

Dari kejauhan tampak seorang lelaki dengan badan gemuk dan gendut berjalan sempoyongan. Siti melihat itu langsung mengrungkuk seperti ketakutan. Upik melihat wajah Siti yang ketakutan lalu bertanya.

"Siti ada apa? Kok kamu ketakutan begitu!" 

"Ada bapakku!" jawab Siti sambil menunjuk kearah lelaki gendut itu.

Upik menoleh ke arah lelaki itu. Ternyata Ayahnya Siti yang suka memukul. Ketika lelaki itu sudah dekat, yang tidak lain Ayahnya Siti berkata keras. "Siti pulang! Cepat bantuin Ibumu membuat kue!" 

Siti mengangguk lalu berlari pulang tampa bilang pamit lagi kepada Upik dan teman lainnya. 

"Kasihan Siti." gumam Engkel didalam hati. 

"Ya sudah kita main lagi!" berkata Fajar.

"Udahan ah, gak enak kalau gak ada Siti!" ujar Upik sambil menghapus garis galaxinnya.

"Eh, emang itu Ayahnya Siti?" kata Engkel bertanya.

"Iya, galak suka galakin Siti kalau Siti minta jajan harus kena pukul dulu." Upik berujar. 

"Kalau Ibunya kerja apa?" kembali Engkel bertanya.

"Ibunya sama seperti Ibu kamu Engkel. Dagang kue!" ujar Siti pula.

"Oh ...!" 

"Ya sudah kita pulang aja nyu. Lagian sudah mau magrib!" yang berkata adalah Fajar.

Mereka bergegas pulang bersama. Ketika ditengah perjalanan Engkel berucap. "Eh- kita lewat rumahnya Siti Nyu, aku mau lihat keadaan Siti, lagi juga aku belum tahu rumahnya."

"Hayo," kata Upik. Mereka berjalan memotong kearah rumah Siti. Kebetulan mereka satu tujuan pulang kerumah karena rumah mereka berdekatan. Tak jauh rumah Siti terlihat, mereka terus berjalan dan ketika didepan rumah Siti terdengar suara anak perempuan sedang menagis. Suara tangisan itu jelas adalah suara tangisan Siti. 

"Ampun pak, ampunn...!" Sangat menyayat hati tangisan Siti. Rupanya ia kembali kena pukul Ayahnya. "Dasar anak bandel, kerjaannya main mulu, emangnya mau jadi apa kalau sudah besar!" Jelas suara itu adalah suara Ayahnya Siti. 

Plok, plok, plok

Terdengar tamparan keras di iringin suara jeritan Siti meraung-raung minta ampun. Engkel, Upik dan Fajar hanya berpandangan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Namun Engkel hatinya terenyuh dan ia ingin menghampirinya. Baru saja melangkah untuk lebih dekat lagi dari rumah Siti, Upik mencekal tangang Engkel. "Jangan, biarin aja, nanti malah kita yang di omelin!"

"Ga papa Upik!" berkata Engkel. "Aku hanya ingin tau saja."

"Mau tahu bagaimana?" tanya Upik.

"Mau tahu permasalahannya apa?!" jawab Engkel sembari melangkah mendekat.

Karena Engkel berani mendekat, Fajar dan Upik pun ikut memberanikan diri. 

"Mulai besok kamu jangan main keluar seharian. Bantu ibu kamu dagang. Emangnya kita mau makan apa kalau tidak dagang!" Masih terdengar nada keras suara Ayah Siti.

"Pak harusnya Bapak itu mikir. Jangan nyalahin anak, Bapak kerjanya yang giat. Kalau sudah dapat uang jangan di pakai buat minum dan main judi." Suara wanita itu adalah Ibunya Siti.

Plok 

Tak lama terdengar suara menampar. "Dasar anak sama ibunya sama saja!"

Brak... Ayah Siti keluar sambil membanting daun pintu dengan kerasnya. Terkejutlah Engkel, Upik dan Fajar ketika Ayah Siti sudah berada di depan mereka. 

"Eh-pada ngapain loe disini!" sentak Ayahnya Siti. Upik ketakutan begitupun Fajar. Tidak halnya dengan Engkel. Ia malah bertanya tentang Siti. "Tadi kami dengar Siti menangis, kenapa Pak?"

Ayahnya Siti sontak meyorotkan mata, "Eh-anak cecurut mau tau aja urusan orang, sana mendingan kalian segera pulang kerumah lalu mandi!"

"Bapak jangan kejam sama Siti! Berkata Engkel dengan nada sedikit sengit.

"Buset dah nih anak, songong amat sama orang tua!" Sambil melotot Ayahnya Siti berkata begitu. "Loe anak siapa sih, mulut kurang di ajar ya sama orang tua."

"Bapaklah yang harusnya di ajar, agar tidak memarahi Siti terus!" Engkel menjawab keras. 

Ayahnya Siti bertambah marah, wajahnya memerah dan katanya menyorot tajam. Upik melihatnya ketakutan lalu beringsut kebelakang. Fajarpun demikian, tampak raut wajah yang sangat takut dan wajah berubah menjadi pucat.

Tiba-tiba Ayah Siti menjewer telinga Engkel sambil berkata. "Eh, anak siapa loe berani benar sama orang tua!" Engkel merasakan kesakitan di jewer daun  telinganya. "Anak siapa?" tanyanya lagi. "Eh, ini anak siapa?" kali ini matanya tertuju pada Fajar dan Upik.

Upik sangat ketakutan ketika mata Ayahnya Siti menyorot kearahnya. Tak lama kemudian Upik pun menangis saking takutnya. Fajar ditanya begitu, sontak menjawab cepat walaupun tergagap. "Anak Ibu Mira." jawab Fajar polos.

"Ah ... anak Si Mira,!"

Fajar spontan pula mengangguk.

"Oh ... yang suaminya di penjara itu yah karena kasus Narkoba. Em ... berarti loe anaknya Remon." ujar Ayahnya Siti sembari melepaskan telinga Engkel yang sudah memerah. Engkel meringis kesakitan sambil mengusap-ngusap telingannya karena panas.

"Emangnya Bapak loe belum keluar dari penjara yah!" Ayahnya Siti bertanya. Sedangkan Engkel ditanya hanya diam lalu merapatkan tubuhnya ke Fajar dan Upik yang masih menangis.

"Eh-dengar mulai besok Siti tidak boleh keluar. Jadi kalian jangan coba-coba nyamperin Siti untuk bermain dengan kalian!" ancam Ayahnya Siti.

Engkel, Fajar dan Upik segera pergi dengan langkah cepat. Di hati Engkel menyeruak siapa sebenarnya Ayahnya. Kini ia tahu dari mulut Ayahnya Siti ketika ia bertanya "anak siapa" Dan Ayahnya Siti menyebut nama Remon. Lelaki itu sedang berada di penjara karena kasus Narkoba. 

Jelaslah kenapa Ibu yang tidak lain adalah Ibu Mira selalu menyembunyikan itu semua ketika ditanya oleh Engkel tentang siapa Ayahnya?

***

Flash Back~~

Pernikahan Remon dengan Mira tidak diinginkan kedua orang tua Mira. Karena tidak mempunyai pekerjaan dan juga kurang baik di mata masyarakat. Namun semua terjadi karena Mira sudah telanjur cinta sehingga biar bagaimanapun ia harus bersama Remon sang lelaki pengangguran.

Cinta memang membutakan mata hati. Semangat cinta itulah membuat Remon sebagai suami harus bertanggung jawab mencari nafkah untuk sang istri. Di ujung gang sekelompok anak muda sedang asik memetik gitar dan melantunkan tembang kenangan tahun70 an. Melihat teman-temanya berkumpul, Remon menghampirinya.

"Hai Brow di teguk dikit lah!" Seseorang menawarkan minuman hitam yang sudah terisi batu es. Remon tahu kalau mereka nongkrong kurang lengkap tampa minuman yang memabukan. 

Agar tak berkesan kurang pergaulan, Remon hanya menyicipi seteguk, meskipun dia sendiri tidak suka minuman yang memabukan. Walaupun bertampang urak-urakan tetapi kalau soal minuman ia akan menjauhi. Minum hanyalah merusak badan, pikirnya.

"Tumben loe kelihatan semenjak nikah sama Mira!" tanya temannya sebelah kiri.

"Namanya juga pengantin baru lay!" menyahuti teman yang sebelah kanan.

Remon hanya tersenyum lalu membuka suara. "Gue bingung, sekarang udah punya istri masih saja menganggur. Kalau ada pekerjaan, gue mau dah kerja apa aja. Gue malu tinggal sama mertua gak ada kerjaan.! Keluh kesah Remon kepada teman-temannya.

Tiba-tiba seorang lelaki yang duduk di belakang menyahuti. "Gue ada pekerjaan buat loe!" Sontak Remon menoleh kebelakang melihat orang itu. "Pekerjaan apa Bang?" tanya Remon pula.

"Begini!" terang lelaki itu. "Barang ini di pesan sama orang di daerah jakarta nah loe ngantrin doang ke alamat ini. Nih uang mukanya, nanti sisanya kalau loe dah balik lagi kemari!" ujar lelaki itu lalu menguarkan bungkusan seperti kardus VCD dan selembar kertas denah alamat

Remon memandangi barang tersebut sejenak, lalu bertanya, "Isinya apa Bang?"

Yang ditanya malah menyentak. "Dah jangan banyak tanya. Pokoknya nih barang harus nyampe." Sambil menguarkan uang sebesar 300 ribu sebagai uang muka. "Tuh, nanti sisanya!"

Remon segera mengambil uang muka itu. Dihatinya bergumam, "Lumayan buat Neng Mira biar ia senang. Ah nanti aku belikan saja emas 2 gram."

Remon segera meraih bungkusan itu, lalu bergegas untuk mengantarkan barang paket itu, dia sendiri tidak tahu apa isinya.

Ditengah perjalanan udara sangat panas. Apalagi di mobil angkot yang penuh sesak dan aroma farfum yang menyengat rongga hidung, tentu membuat kepala pusing. Dengan keringat bercucuran, Remon dengan tergopoh-gopoh membawa barang paket itu turun dari mobil yang ia tumpangi.

Lalu kembali menaiki mobil yang kedua menuju terminal akhir. Ditangah perjalanan tiba-tiba mobil berhenti. Remon menoleh kedepen melihat keramaian, ternyata ada razia kependudukan. Semua penumpang disuruh turun lalu di pintakan kartu identitas. Terkejutlah Remon, Dia tidak membawa surat-surat identitas satu pun termasuk KTP. "Ah, sial!" rutuknya.

"Permisi Pak, tolong kartu Identitasnya!" Bapak Polisi itu menegur Remon.

Remon merogoh dompetnya seperti orang linglung. Dirabah saku celana berulang-ulang. 

"Cepat kami mau lihat KTP Anda!" polisi menyentak membuat Remon bertambah gugup. Sebenarnya Remon tidak membawa dompet apalagi KTP. Segera Remon berujar kepada Polisi itu. "Maaf Pak saya gak bawa KTP!" 

"Bilang kalau kamu tidak bawa KTP!" kembali Polisi itu membentak. Lalu menguarkan buku kecil untuk mencatat nama. "Hayo sekarang kamu naik ke mobil!" kata Pak Polisi itu sambil menunjuk kearah mobil truc polisi. "Nanti beri penjelasan dikantor!" Pak Polisi itu mencekal tangan Remon.

"Jangan Pak, saya lagi buru-buru ini!" Remon berujar dengan nada lara.

"Memangnya mau kemana?" tanya Pak Polisi.

"Ini nganterin barang!" jawab remon sambil menunjuk kearah kotak berupa paket kiriman. 

"Barang apa ini?" tanya Pak Polisi lagi.

"Kiriman orang Pak, saya hanya disuruh.!" 

Karena gelagat dan ekspresi wajah Remon mencurigakan, Polisi itu pun berkata. "Boleh saya lihat apa isinya." Remon hanya diam sambil menggaruk kepala. Tampa di izinkan lagi Polisi itu segera membuka bungkusan barang kardus VCD itu.

"Uh...perasaanku gak enak!" gumam remon di dalam hati.

Polisi itu dengan cermat membuka bungkusan itu. Terbukalah dan alangkah terkejutnya Pak Polisi itu ketika melihat isi dari barang itu ternyata daun ganja. Dengan cekat Pak Polisi lansung mencekal kembali tangan Remon dengan keras sehingga membuat tubuh Remon terpelanting lalu jatuh tersuruk. Melihat Pak Polisi menangkap Remon begitu keras tentu membuat perhatian Polisi lainnya. Sontak pula Remon di kerumun beberapa polisi. 

"Tangkap orang ini!" teriak Pak Polisi pertama. "Orang ini bawa daun ganja Pak!" 

Remon dalam keadaan terpiting dan tangan di borgor lalu diangkat oleh salah satu Polisi dengan keras lalu ditarik untuk dibawa kedalam mobil Polisi Patroli. Tampa ampun lagi Remon seperti bola dijadikan mainan para polisi untuk dilempar kesana, kemari. Bahkan layangan pukulan polisi yang emosipun mendarat di muka Remon.

Barang paketan yang sudah tersobek terlihat daun ganja yang sudah di fres berbentuk segi empat itu segera dibawa untuk dijadikan barang bukti dan pemeriksaan lebih lanjut.

Brak...

Remon didorong tubuhnya kedalam kamar interogasi. Tak lama seseorang berbadan tegap bermuka garang masuk. Lalu menyuruh Remon untuk duduk dalam keadaan terikat Remon menundukan wajah. Ada rasa takut dihati Remon.

"Angkat kepala!" gertak orang berbadan tegap itu. "Cepat angkat kepala kamu!" 

Plok

Tamparan melayang perih di pipi Remon.

Plok... Sekali lagi tamparan kedua kalinya di pipi sebelah. "Dengar, dan bicara yang jujur!" kata orang bermuka garang itu.

"Dari mana barang ini kau dapatkan dan untuk dibawa kemana?!" Dua pertanyaan sekaligus lontarkan orang itu, "kasus kamu termasuk berat karena sebagai pengedar narkoba, mengerti kamu!"

Remon menunduk kembali sambil merasakan pipinya yang panas tergampar orang itu.

Brak ... Orang itu memukul meja membuat Remon terkejut. "Jawab pertanyaanku. Dari mana kamu dapatkan barang ini?" 

"Tidak tahu Pak!" jawab Remon dengan nanar.

"Em ... jadi gak mau ngaku!" ujar lelaki garang itu sambil mengangkat kaki meja lalu di hentakkan tepat mengenai jempol kaki remon. "Bruuk ..."

"Adaw .... ampuun....ahh...!" pekik Remon kesakitan.

Bukannya segera di angkat kembali malah di injak meja itu dan di tekan tentu sangat sakit dirasa Remon jempil kakinya ditekan dengan kaki meja. "Aaaghhh....." 

"Aku di suruh Pak dengan orang yang gak saya kenal.!" Remon buka suara. 

"Dimana orang itu!?!"

"Dekat rumah saya, teman tongkrongan tapi saya gak kenal orang itu!"

Uggh... Kembali orang itu menekan kaki meja membuat Remon kelojotan menahan rasa sakit. "Agghhh ..... ampuuunn... Ampunnn..... Sakiiit!" 

Lalu orang berwajah garang itu melepaskan tekanan meja itu dan mengankatnya kembali seperti semula. Remon uhal-ugalan ketika kaki meja itu terangkat. Ia menahan rasa sakit tak terkira, jempol kakinya membiru bahkan bisa membuat cantenga kalau dibiarkan tidak di obati. Namun orang itu segera menyuruh orang lain untuk mengobati luka yang diderita Remon. 

"Baik kamu saya tahan. Biar bagaimanapun kamu melanggar hukum sebagai pengedar obat terlarang." ujar lelaki garang itu yang bertugas untuk mengintrogasi pelaku kriminal. Remon pun kembali di giring untuk di masukan ke kamar khusus tahanan yang hanya berpintu jeruji besi. 

***

Hari cukup ceria walau terasa panas menyengat. Mira tampa sepengetahuan Engkel berjalan dengan cepat sambil membawa serenteng Rantang yang berisi makanan. Ketika itu Engkel sedang bermain bersama teman-temannya. Dengan langkah terburu-buru entah mau kemana Ibu Mira. Ia menaiki mobil angkutan umum. 

Sesampai ketujuannya ia segera turun. Di pandangnya bagunan luas didepannya. Ternyata Ibu Mira menuju ke rumah tahanan yaitu penjara. 

Menjenguk sang suami yang masuk bui sudah 7 tahun sedangkan hukumannya 15 tahun berarti 8 tahun lagi sang suami bisa menghirup udara segar. Remon sedang termangu menopang jeruji besi diwajahnya. Ia memandang kedepan dengan tatapan kosong. Hatinya tertuju pada Mira dan anak yang ia hasilkan dari rahim Mira.

Seseorang petuga lapas menegurnya. "Pak Remon silahkan ke ruang jenguk ada yang mau bertemu dengan Bapak!" Setelah berkata demikian petugas lapas itu segera pergi. Remon sangat gembira ternyata masih ada orang yang menjenguknya di penjara. "Ah-mungkin yang menjengukku Mira!" batinnya bergumam.

Benar saja ketika melhat dari kejauhan seorang wanita berpakaian dan berkerudung itu adalah Mira sang Istri. Remon tersenyum sumringah dan mempercepat langkah menuju ruang jenguk.

"Abang!" panggil Mira ketika melihat sang suami sudah berada didepannya. Wajahnya sangat bersih meski tampak kusut. Mira tersenyum, Abang sehat?" tanya Mira.

"Abang sehat Neng. Neng sendiri bagaimana sehat?"

"Sehat Bang!"

"Kok kamu sendiri, anak kita mana?"

"Dia lagi main Bang!" jawab Mira. "Ini Eneng bawa makanan juga kopi buat abang didalam sana!" Mira menyerahkan rantang itu kepada Remon. Remon segera membukanya. Dilihat ada nasi dan lauk pauknya berupa daging ayam dan lalap petay. 

"Wah ... ada lalap petaynya. Em ... daging ayam pula!" ujar Remon, seraya menyicipi makanan itu. "Eh, Bapak sama Ibu sehat?" Remon bertanya maksudnya menanyakan mertua.

"Sehat Bang!" Mimik wajah Mira berubah, seperti ada yang mau ia ucapkan. Remon melihat perubahan ekspresi wajah Mira, ia lalu bertanya, "Sepertinya eneng kemari mau ada yang disampaikan?!" 

Mira mengangguk.

"Ya sudah bilang aja!" kata Remon.

"Eh ... eh ...!" Mira tergagap karena ragu untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya selama ini. "Sudaah ... bilang aja, kenapa emang?" tegas Remon.

"Aku, aku, aku minta cerai Bang!" 

Remon menjatuhkan nasi ke piring kembali yang sudah di genggamnya untuk dimakan. "Apa Neng?" Remon mempertegas pendengarannya apa yang baru saja didengarnya.

"Neng minta cerai!" sekali lagi Mira berkata begitu. Lalu menundukan wajah.

"Alsannya apa Eneng minta cerai!" bertanya Remon dengan nada sengit. "abang tahu pasti eneng sudah ada pengganti Abang yah selama Abang di penjara."

"Bukan Bang!" jawab Mira cepat.

"Lalu apa?" kata Remon bertanya sedikit keras.

"Neng bingung dengan anak kita. Selama ini kita merahasiakan anak kita tentang Abang. Eneng gak mau anak kita tahu siapa Bapaknya yang sebenarnya!" ujar Mira sambil menunduk.

"Terus ... !"

"Eneng ingin hidup bahagia mempunyai suami untuk Ayahnya Engkel. Karena Eneng gak mau di cecar terus dengan pertanyaan Engkel siapa Ayahnya."

"Aku ingin minta sama kamu Neng!" kata Remon, "untuk bersabar menunggu aku!"

"Maaf Bang, Eneng selama ini sudah bersabar. Semenjak Engkel belum lahir, akhirnya ia lahir di atas bak mobil engkel, sampai membesarkannya dengan ekonomi yang sangat kurang, Eneng sudah sangat sabar Bang, menunggu Abang selama 7 tahun ini. Sedangkan Abang keluar 8 tahun lagi. Sampai kapan Eneng hidup seperti ini!" Mira menangis perlahan. Air matanya sedikit membasahi pipinya. "Biar bagaimanapun Abang harus menceraikan Eneng!"

"Tidak akan aku menceraikan kamu Neng."

"Pokonya  Eneng akan mengurus semua perceraian ini!" ujar Mira masih menangis pelan.

Remon menjadi naik pitam. Ia melemparkan makanan didepannya lalu berdiri sambil berkata. "Bawa lagi ini makanan!" Setelah berkata begitu, Remon bergegas balik badan untuk kembali ke dalam kamar penjara.

"Baang ...!" panggil Mira dengan nada lara.

"Hikz... Hikz... Hikz...." kali ini tangisan Mira terdengar keras, sehingga membuat perhatian orang-orang disekitarnya.

Mira lalu merapikan lagi makanan kedalam Rantang yang harusnya dibawa kedalam untuk dimakan disana. Namun karena sudah tak berarti dimata Remon, Mira pun membawa pulang kembali rantang itu.

***

Di sudut ruang kamar Engkel termenung sambil bermain pistol-pistolan. Meskipun tangannya menggenggam pistol mainan, tapi di pikirannya yang paling dalam menerawang apa yang dikatakan Ayahnya Siti siang tadi. Ia mengingat-ngingat kembali perkataan Ayahnya Siti tentang lelaki bernama Remon yang sedang berada di dalam penjara. "Apa benar yang dikatakan Ayahnya Siti?!" batinnya.

Kreeek....

Terdengar derik pintu.

"Helo .... Engkel ... Kenapa belum tidur Nak?!" Mira masuk kedalam kamar Engkel. Lalu duduk disamping tubuh Engkel yang sedang merebahkan tubuhnya sambil memainkan pistol mainana. "Kenapa masih main, kan sudah malam. Ingat loh Nak setahun lagi kamu sekolah." 

"Ibu ...!" kata Engkel memanggil. "Engkel sudah tahu siapa Ayah Engkel!"

Mira tersentak hatinya mendengar itu. "Kenapa Engkel bilang begitu!" 

"Engkel tahu Bu. Kenapa ibu gak bilang siapa Ayah Engkel sebenarnya. Tapi sekarang Engkel tahu. Ayah Engkel sekarang berada di rumah polisi kan Bu!" ujar Engkel polos. "Dan nama Ayah Engkel adalah Remon, benarkan Bu?!"

Mendengar apa yang baru saja didengarnya dari mulut putranya membuat Mira terenyuh. Rupanya Engkel sudah mengetahui semuanya. Mira berdiam sejenak untuk berpikir apa jawabannya. Tak lama Mira pun berujar.

"Benar anakku, Ayahmu bernama Remon yang kini tinggal didalam penjara karena kesalahan yang Ayah perbuat ketika itu. Tapi Ibumu tidak akan lagi berhubungan dengan Ayah kandungmu. Ibu ingin mencari pengganti Ayahmu.!

"Maksud Ibu?" Engkel bertanya karena tidak mengerti apa yang di maksud Ibu.

"Kalau ada jodoh lagi, Ibu akan menikah lagi. Berarti kamu mempunyai Ayah, namanya Ayah tiri."

Engkel Anak yang cerdik, kini dia tahu apa yang dimaksud sang Ibu. Sifat sabar dan mudah menerima keadaan itulah sifat dan karakter Engkel kelak. Maka itu Engkel tidak mempermasalahkan itu semua. Ia tidak perduli Ayah kandung atau tiri sama saja. Yang terpenting bisa membahagiakan Ibu.

Di hati Engkel merasa senang dapat terkuak siapa dirinya. Engkelpun memeluk Ibunya seraya berkata. "Maafkan aku Ibu!"

Bersambung eps selanjutnya. Tunggu kisah Dektetif Engkel selanjutnya.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar