Jumat, 04 April 2014

Kuntilanak Anak Dukun Beranak

Mak ijah adalah seorang dukun beranak yang terkenal di kampung babakan. Setiap wanita yang mau melahirkan selalu mak Ijah yang mengurusnya. Dari persalinan sampai merawatnya sampai sang pasien sembuh. Mak Ijah mempunyai anak perempuan bernama Sulastri. Mak Ijah sangat sayang pada anak perempuannya, sehari-hari Sulastri selalu di manjakan. Di usianya yang hampir dua puluh tahun, Sulastri belum mempunyai pendamping hidup. Di karenakan wajah Sulastri yang kurang menarik sehingga membuat lelaki segan untuk mendekatinya.

Malam itu Sulastri melamun di halaman rumah, duduk di bale yang sudah rapuk dan bolong-bolong, suasana rumah kampung sudah tidak aneh di depan rumah ada bale yang di khususkan untuk mengobrol.
Di dalam hati sulastri berkata.: "Kapan yah aku mendapatkan jodoh, padahal kawan-kawan seumuran ku sudah pada menikah hanya aku saja yang belum, uhuk uhuk uhuk" Keluh sulastri yang terus melamun kan nasibnya selamanya ini. Tidak sadar bahwa malam terus bergulir namun Sulastri masih saja duduk terpaku di depan rumahnya.



"Sulastri Ayo masuk dah malam nagapain sih melamun aja tar ada setan masuk" Kata mak ijah menegur Sulastri. Mak ijah juga bingung memikirkan putri semata wayangnya dari pernikahan dengan kang idang yang sudah almarhum. "Iya mak sebentar lagi" Jawab Sulastri dengan malas untu menjawabnya.

Gerimis datang membuat suasana tambah mencekam di kampung itu yang masih bnyak pepohonan dan masih rawan dengan keadaan makhluk astral. Terbesit dan melihat Sulastri ke sebuah pohon asam yang besar dan tinggi. Yah Sulastri terbesit di dalam hati nya untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri..

Sulastri masuk kekamar. "Mak aku tidur" Kata Sulastri sambil melangkah ke dalam kamarnya. Mak Ijah yang sedang duduk di ruang tamu depan hanya menggeleng-gelang kepala, melihat anaknya dalam keadaan murung dan tidak mempinyai gairah hidup. Emak Ijah sebenarnya sudah tahu apa yang ada di pikiran Sulastri, namun mak Ijah gak bisa berbuat apa-apa, mak Ijah hanya lah dukun beranak yang mendapatkan penghasilan pas-pasan dari menjual jasa jika ada yang mau melahirkan dari warga setempat.

Di dalam kamar sulastri masih saja melamun. Lamunan kali ini bagaimana untuk mengakhiri hidupnya. Dilihatnya tali tambang di bale tempat tidurnya yang sudah hampir patah, di bukanya ikatan itu, cukup panjang pikir Sulastri. Tampa pengetahuan mak Ijah Sulastri keluar rumah. Dilihatnya mak Ijah sudah tidur, dengan mengendap-endap keluar rumah, Sulastri segera menuju pohon asem. Di panjatnya pohon itu, Sulastri memang lihai dalam memanjat pohon sedari kecil hobinya menjat pohon, sama halnya dengan anak-anak lainnya.

Diikatnya pangkal tambang dan di lilitkan ke lehernya. Dengan tampa basa-basi, Sulastri pun melompat dan Greeek. Sulastri tergantung dan sudah tidak bernyawa.

"Sulastrii bangun dah pagi" Kata mak Ijah sambil mengetok pintu, namun tidak seperti biasanya, Sulastri tidak menjawab. Tiga kali mak Ijah memanggil namun tidak ada jawaban juga, di bukanya pintu kamar Sualastri. Mak Ijah kaget, Sulastri tidak ada ditempat tidurnya.
Di cari di dapur, sapa tau Sulasrti sedang di dapur, tapi di lihat tidak ada. Mak Ijah pun semakin bingung. Di panggil nya sulastri namun tidak ada jawaban.

Tiba terdengar dari luar rumah teriakan seseorang, suara dari seorang laki-laki.

"Ada orang gantung diri..." teriak laki-laki itu dengan nafas sedikit tersengal. "Tolongg... ada mayat mayat.." Mendengar teriakan seseorang dari luar rumah, segera mak Ijah keluar. Dilihatnya orang-orang sedang bergumun melihat sesuatu yang kurang jelas di mata mak Ijah. Mak Ijah pun menghampirinya.Dengan wajah pucat dan langkah berat membuat mak Ijah tertatih-tatih menuju ke tempat bergumunnya orang. "Ada apa..?" Tanya mak Ijah sambil mendorong tubuh yang menutupi mayat Sulastri. Betapa kagetnya mak Ijah ternyata yang di lihatnya mayat Sulastri anak satu-satunya. Suara tangis mak Ijah pun tak terbendung. Dan banyak yang iba kepada mak Ijah. Akhirnya masyarakat pun membantu untuk mengurus jenazah Sulastri yang sudah kaku dengan bekas ikatan tali lehernya berwarna hitam.

Selesailah pemakaman Sulastri dengan di bantu masyarakat setempat yang menaruh iba pada mak Ijah.
Malam pun telah bergulir. Kumandang doa di kumandangkan untuk almarhumah Sulastri. Dengan kesedihan yang mendalam mak Ijah tetap tabah menghadapi semua, mungkin sudah takdinya Sulastri berakhir dengan bergantung diri di pohon asem. Demikian mak Ijah tetap semangat di dalam hidup sendiri tampa anak putrinya yang yelah meninggalkannya.

***

Ba'da Magrib menyambut. Pak Burhan sedang menunggu Seorang istri yang sedang hamil tua, mungkin semalam lagi bayinya akan di lahirkan. Dengan wajah was-was pak Burhan menyuruh anaknya Kesih yang berusia 14 tahun untuk segera menghubungi mak Ijah untuk melihat kondisi istrinya bu Rahmah yang sudah merasakan akan melahirkan "Kes.. coba kamu panggil mak Ijah kemari, untuk melihat emakmu." Suruh pak Burhan kepada anaknya Kesih. "Ya pak, " Kesih pun segera berangkat dengan menggunakan sepedanya, Karena perjalanan gelap Kesih minta di temani siti teman sekarib nya di sekolah. Mereka pun berangkat berdua menuju rumah mak Ijah. "Assalamu alaikum" Salam kesih sambil mengetok pintu rumah mak Ijah.

Semenjak kematian anaknya, mak Ijah selalu murung dan enggan untuk keluar rumah. Namun biasa hidup sendiri mak Ijah menjalankan dengan rasa suka. "Ada apa dek..?" Tanya mak Ijah. "Di panggil bapak suruh ngeliat emak, emak mau melahirkan.." Kata kesih dengan wajah polos. "Oh.. ya udah tunggu yah emak mau ke sumur dulu."Ujar mak Ijah sambil membenarkan kerudungnya.

Sumur mak Ijah berada di luar rumah, jadi agak jauh kelau mau ke sumur, apalagi malam sangat jarang penerangan , hanya mengandalkan lampu sumbu mak Ijah ke sumur. Karena sudah terbiasa mak Ijah tidak merasa takut. Kesih menunggu di ruang tamu di temani lusi, sambil bercanda sebagaimana biasanya seorang anak remaja. Kesih dan Lusi tidak mengetahui bahwa anak mak Ijah Sulastri sudah meninggal dunia seminggu lalu, Sehingga tidak merasa takut sedikitpun. Dan tidak merasakan ke anehan sedikit pun.
"Kes.. ko lama amat yah mak Ijah kesumurnya? " Tanya Lusi, "Iya lama amat" Guman Kesih.

Tiba-tiba ada yang masuk dari pintu belakang dan duduk di bangku mak Ijah yang biasa di duduki mak Ijah. Dengan wajah tertunduk dan diam, seperti sedang melamun, Lusi dan Kesih melihatnya "Kes.. itu bukannya mak Ijah" Tanya Lusi sambil menunjukan ke arah orang yang sedang duduk di ruang makan yang mirip mak Ijah.

"Iya.. tapi ngapain yah mak Ijah ko diam aja,, bukan buru-buru berangkat, " Kata Kesih dengan merasa anah melihat seorang wanita yang mirip mak Ijah. "Mak, mak, ayolah kita segera kerumah saya, " Panggil Kesih kepada sosok yang mirip mak Ijah.

Namun sosok itu hanya terdiam dan tidak bicara sepatah pun. Membuat Kesih dan Lusi binggung. "Mak dah malam" Tegur Kesih kembali.

"Mak Ijah ayo dong kita pergi sekarang." Bantu Lusi menegur.

Sosok itu pun berdiri dan kembali keluar lewat pintu belakang. Sekonyong-konyong mak Ijah masuk dari pintu yang sama dan berkata: "Ayo kita jalan sekarang. "Mak, Sudah dari tadi saya nunggu emak. emak malah ngelamun di situ" Kata Kesih membuat wajah emak jadi bingung, "Maksud nya apa dek..? tadi emak ada di belakang ngambil air wudhu, nih baru saja selesai, emak gak duduk di situ sih.." Kata emak sambil menunjuk kebangku yang di maksud Kesih. "Lah.. tadi siapa yang duduk di situ mak?" Tungkas Kesih dengan wajah binggung. "Iya tadi emak duduk di situ" Sambung Lusi menerangkan kembali kejadian yang baru saja di lihat.

Emak pun hanya mengangguk tersenyum, dan langsung menuntun Kesih dan Lusi untuk segera berangkat ke rumah pak Burhan ayah Kesih. Emak Ijah tahu bahwa baru saja yang di lihat kedua anak remaja ini adalah sosok anaknya Sulastri. Walaupun emak agak gundah dengan kejadian itu, namun mak Ijah tetap tegar sambil berdoa untuk arwah anak nya Sulastri agar di terima di sisi nya dengan kasih sayangnya.

Sepulang dari rumah pak Burhan. Mak ijah pun masuk ke kamar Sulastri yang kosong penuh kenangan. Mak Ijah pun berbicara sendiri; "Anakku sulastri.. kamu sudah lain alam, Ibu sudah mengikhlaskan kamu, ibu minta kamu yang tenang yah di sana, jangan mengganggu tamu-tamu ibu, Ibu berdoa selalu agar kamu tenang di sisinya" Ujar mak Ijah sambil meneteskan air mata teringat Sulastri yang manja terhadapnya. Mak Ijah berharap arwah Sulastri tidak penasaran dan mengganggu orang-orang yang bertamu untuk membutuhkan pertolongan mak Ijah sebagai dukun beranak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar