Jumat, 15 Mei 2015

Misteri Rumah Gubug

Jelang malam aku bersama dua sahabatku berlari kecil untuk menghindar guyuran hujan. Berteduh di salah satu rumah warga. Rumah itu terbuat dari anyaman bambu. Sangat natural rumah terbuat dari anyaman bambu, walau kesan kumuh dan tertinggal, tapi aku rasa sangat indah untuk di rasakan.



"Yun..Bagaimana ini kita terjebak di sini," kata tamanku bernama ririn. "Sudah malam lagi, duh aku takut yun!" Tampak mimik wajah Ririn terlihat cemas.

"Iya bagaimana ini!" sambung siska, temanku yang sedikit tomboy.

Sedangkan malam bergulir cepat, hujan belum juga reda. Hatiku merasa was-was juga apalagi kedua temanku sudah sangat gelisah. Berteduh di gubuk itu membuat hati kami kebat-kebit. Aneh kok tidak ada yang menyapa kami. Waktu semakin malam semakin mencekam. Perut kami sudah terasa ingin sesuatu yang harus kami makan. 

Berharap isi rumah ada yang menyapa kami, dan memberi kami untuk berteduh di dalam, dan juga memberikan sekedar minuman atau makanan kecil. Tapi tak ada seorang pun yang keluar dari rumah gubuk itu. 

"Di dalam terang, kok gak ada orangnya yah!?" kata temanku Siska. "Iya sis! Jangan-jangan rumah kosong." sambung Ririn. "Coba kita ketuk nyo!" kataku memberanikan diri.

"Iya sapa tahu ada orang di dalam. Dari pada di luar gelap..Aku takut Yun!" ucap temanku bernama Ririn. Dia agak sedikit takut dengan kegelapan. Wajahnya tampak pucat pasi, dan bibirnya gemeter entah kedinginan entah ketakutan. Sedangkan Siska sedikit berani walau tampak raut wajahnya terlihat cemas. "Oke aku ketuk yah!" kataku

Aku segera mengulurkan tanganku untuk mengetuk daun pintu yang sudah keropos. Satu ketukan kecil sambil ku ucapkan salam. Namun tak ada yang menjawab. Kucoba lagi mengetuk kedua kalinya dan berteriak lebih keras lagi. Masih juga belum ada yang menjawab.

Tak lama kemudian dari sebelah kiri rumah seorang lelaki paruh baya, membawa pacul dan bertopi cuping datang menghampiri kami. Sempat terkejut melihat lelaki paruh baya itu. Di malam hari melihat wajah tirus dengan pakaian compang-camping serta membawa pacul di malam hari membuat di hatiku tanda tanya. 

Sesaat lelaki itu terdiam memandang kami. Mungkin lelaki itu juga terkejut melihat kami, terlihat dari tatapan matanya yang nanar. Aku tersenyum padanya. "Permisi kek! Saya numpang berteduh." kataku. "Apakah ini rumah kakek.!" 

Lelaki paruh baya, kakek aku memanggilnya, karena memang sudah tua. Si kakek hanya mengangguk, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Lalu ia membuka pintu sebelum menawarkan aku untuk duduk di depan rumahnya hanya dengan menunjuk ke arah bale dari anyaman bambu. Aku pun dan kedua temanku duduk di bale itu.

Beberapa lamanya kakek itu tak kunjung keluar. Aku jadi tidak enak hati. Sepi tak ada suara di dalam rumah gubuk itu. Aku jadi curiga dengan lelaki peruh baya itu. Apakah memang orangnya tidak punya rasa kemanusian sehingga tidak ada basa-basi untuk kami sekedar hanya untuk mengobrol menemani kami.

Semakin dalam penasaranku akhirnya kuputuskan untuk menegurnya. Ku panggil ia kembali sambil mengetuk pintu. "Pak..Boleh kami bicara. Di luar hujan belum reda," kataku dengan nada keras. Namun tak juga ada jawaban. 

"Yun..coba kamu dorong pintunya," Siska meyuruhku untuk membuka pintu. Aku lihat memang tidak terkunci. Ku dorong pintu itu perlahan. Derik pintu terdengar halus. Aku coba untuk memanggil sekali, untuk memastikan dia ada didalam. Namun tak juga dia menjawabnya.

"Aneh..." batinku. Siska dan Ririn saling  bepandangan, termasuk aku menoleh kepada mereka "Apa yang harus kita lakukan?!" kataku. "Bagaimana kalau kita masuk kedalam!" ucap Siska. Aku mengangguk.

Kami pun masuk kedalam sambil terus memanggil kakek itu. Tak ada ada suara maupun aktivitas di dalam rumah. Suasana hening, dan sunyi. Ku lihat semua barang-barang yang ada di rumah gubuk itu sangat kotor dan usang. Mataku menatap lekat-lekat mencari orang tua itu. 

Sungguh aneh orang tua itu. Di ruang tamunya tidak ada. Ku coba untuk memberanikan diri menuju ke kamar, seperti kamar si kakek. Siapa tahu si kakek sedang tidur akibat lelelahan. Ku ketuk pintu kamarnya. Masih tak ada jawaban. Pintu tidak tertutup rapat, masih ada sela aku bisa melihat ke dalam. Alangkah senangnya aku l, ketika aku mengintip dari sela pintu itu, ternyata orang tua itu sedang tidur. Dugaan ku benar mungkin dia sedang kelelahan sehingga lansung tertidur pulas.

"Ssst...! Aku melambaikan tangan ke Siska memanggilnya. "Tuh si kakek lagi tidur pulas," kataku sambil menunjuk kedalam kamar. Siska pun segera mengintip dari sela pintu. Ternyata dia geleng-geleng kepala. "Mana!?" katanya. "Coba kamu lihat lebih kedalam lagi!" sambungku. 

Siska menggelengkan kepala lagi. "Ah ngaco kamu. Gak ada apa-apa kok," ujar Siska penuh heran. Aku pu  jadi penasaran ingin melihat lagi. Ku coba mendekatkan wajahku untuk melihat kembali. Ternyata benar apa yang di katakan Siska. Orang tua yang aku lihat itu ternyaya tidak ada. "Ah Gila! Malam penuh misteri," batinku

Selang berapa lama ku coba memberanikan diri untuk membuka pintu itu lebih lebar lagi. Benar-benar tidak ada. Ku coba lagi mendorong pintu sehingga pintu terbuka lebar. Ku cari setiap pojokan ruang kamar kakek itu. Memang ternyata tidak ada. Lalu siapa yang aku lihat barusan. Hatiku tanda tanya. Tak mau kelihatan aku sedang kebingungan. Dan tak mau punya pikiran membuat kedua temanku takut. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumah gubug itu. 

Sudahlah. Hujan juga sudah hampir reda. Bagaimana kita jalan lagi. Nanti kalau ada warung atau rumah berpenghuni. Kita bisa mampir kesana. Aku pun berjalan lebih dulu lalu di ikuti dengan kedua temanku. Mereka terlihat ketakutan. Berjalan saling bergandengan tangan mengejar aku yang berjalan lebih dulu

***

Beberap meter kami berjalan. Terlihat jauh lampu menguning dari sebuah rumah. Aku pun segera mempercepat langkah di ikuti kedua temanku. "Lihat ada rumah. Nanti kita mampir disana." Aku menunjukan rumah itu. Setelah sampai kerumah itu, senanglah hati kami. Hujanpun sudah redah yang ada rinai kecil tertiup angin perlahan.

Kami pun segera mengetuk pintu rumah itu. Cukup bagus rumahnya walaupun belum semua berbetuk tembok, masih banyak yang perlu di perbaiki. Mungkin pemilik rumah itu kurang biaya untuk membangun rumahnya. Kami mengetuk pintu rumah itu, berharap pemiliknya membukakan pintu dan mengizinkan kami untuk menginap salaman.

Benar tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampak seorang lelaki berbada gendut keluar. Lalu Ia berkata. "Cari siapa dek!" Suaranya berat. Sepertinya seoarang yang di segani dan di hormati. "Kami kemalaman pak dan tadi kami terjebak hujan." jawabku. 

Lelaki itu tersenyum

"Kalau boleh kami numpang bermalam di sini," kata ku lagi penuh harap.

"Ya.. Ya.. Ya.. Silahkan, silahkan. Oh yah masuk saja kita bicara di dalam."

Aku mengekori bapak itu, di ikuti oleh kedua temanku. Sampai di dalam bapak itu menawarkan kami duduk. Cukup bagus ruangan rumahnya, bersih dan alami. Setelah kami duduk. Wanita keluar dari kamar, aku berpikir pasti istri dari bapak itu. 

"Siapa pak!" tanya wanita itu

"Ada tamu bu!" Bapak itu mengulurkan tangannya ke arah kami. Kami pun tersenyum. Lalu wanita itu turut menyambangi dengan senyuman lalu duduk bersama kami. 

"Adik..dari mana?" Ibu itu bertanya kepada kami. Ternyata benar wanita itu adalah istri dari bapak itu.

"Kami adalah mahasiswa bu," sontak kami mnnjawab secara bersamaan. 

Ibu itu mengangguk

"Kami mahasiswi dari jakarta. Kami sedang mengadakan penelitian di kampung ini, buat referensi tulisan kami," terangku pada ibu itu. Lalu bapak tadi duduk di sampingnya. "Sebenarnya kami mau segera turun untuk pulang. Tapi hujan turun lebat sekali, terpaksa kami bermalam di sini dulu." aku menerangkan. "Kalau boleh kami izin untuk bermalam di rumah ibu!" 

Ibu itu tersenyum, "Oh silahkan rumah ibu terbuka buat siapa saja." "Silahkan adik-adik tinggal di kamar dekat ruang kamar kami," sambung si bapak. 

"Terima kasih banyak pak, bu!" ucapku syukur. 

"Saya adalah kepala desa kampung ini. Yah harus melindungi warganya, maupun pendatang yang butuh bantuan," ujar sang bapak. Ternyata bapak itu seorang Kepala Desa. Akhirnya kami berbincang-bincang.

Lalu kami menceritakan kejadian di rumah gubug itu. Sang Kepala Desa dan istrinya mengkernyitkan kening. Tampak wajah heran di raut wajah mereka mendengarkan cerita kami. 

Lalu aku mencoba bertanya pada mereka. "Kenapa bapak dan ibu terkejut mendengar cerita kami!" 

"Begini Dik! Rumah itu memang sudah lama di tinggalkan oleh pemiliknya. Terakhir di tempati oleh kakek-kakek hidup sendiri. Beberapa tahun, sang kakek mengidap penyakit cukup lama. Tampa di ketahui warga, bau bangkai sangat menyengat hidung. Membuat warga curiga. Akhirnya kami dan para warga ingin mengetahui keadaan kakek-kakek itu. Karena bau bamkai tercium dari dalam rumah itu. Benar' ternyata kakek itu telah membusuk. Di perkirakan sudah tiga hari dia meninggal. Lalu kami dan pihak berwajib mengurus jenazahnya. Begitu dek, ceritanya."

"Jadi yang kami lihat saat itu," Siska langsung berkata pundaknya bergidik. "Jadi yang kami lihat ternyata han..hantu!" 

"Ihh....." serentak kami bergidik bersama.

Sang Bapak dan istrinya menertawakan kami dalam ketakutan. 

"Ya sudah! Tidur istirahat sana. Malam sudah larut," Ucap Ibu, sambil berdiri bangkit untuk menunjuki ruang kamar kami. Aku mengikuti dari belakang di susul oleh kedua temanku. 

Pengalaman yang tak terlupakan membuat kami tertawa jika menceritakan kembali peristiwa itu, ketika kami sampai kerumah. Dan menjadi sebuah cerita yang mengesankan bagi persahabatan kami.

Sekian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar