Minggu, 29 Mei 2016

Adopsi Anakku

Suasana siang itu terasa panas aku rasakan sebagai supir angkutan umum. Rasa gelisah akan sepinya penumpang di hari ini. Aku berusaha bersyukur apa yang aku dapat, meskipun berharap banyak.


Dua kelokan menuju terminal Pasar Anyar aku lalui, yang berarti tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan penumpang sedekat itu. Tapi tidak terduga, tampak dari kejauhan seorang wanita dengan perut membesar melambaikan tangannya petanda ia mau naik mobilku. Bersyukurlah aku, akhirnya mendapatkan penumpang meskipun jaraknya dekat dari perbehentian terakhir.

Mengira wanita itu sedang hamil ternyata benar. Ia masih saja memegang perutnya ketika menaiki mobilku. Aku mengira, sudah tujuh bulan kandungan yang ia rasakan. Aku tak berani bertanya ketika ia sudah duduk di sampingku. Rupanya ia ingin duduk di bangku depan dekat supir.

Beberapa meter lagi Pasar Anyar terlihat. Yang berarti, aku harus menge-time untuk menunggu penumpang arah balik. Hiruk pikuk pasar membuat aku pusing dengan rupa keadaan manusia dan karakternya.

Begitupun wanita yang berada di sampingku sebagai penumpang. Ia hanya menoleh berkeliling menyaksikan manusia dengan kesibukan di pasar. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Begitupun aku, entah mengapa, aku malas menyapa penumpangku, mungkin, karena pusing sepinya penumpang pada tarikan hari ini.

Akhirnya sampai juga di tempat berhentian terakhir. Aku memakirkan mobil untuk mencari sela agar terlihat oleh calon penumpang yang dari pasar.

Wanita di sampingku masih saja duduk termangu memperhatikan sekeliling pasar. Tampak raut wajahnya yang bingung atau sedang mencari alamat. Akhirnya aku membuka suara.

"Mau turun dimana, Bu?" aku bertanya, tapi dia tidak langsung menjawab. Aku coba untuk menegurnya lagi, "Ibu, ini sudah sampai Pasar Anyar, ibu mau turun di mana?!"

Masih saja terdiam, namun hanya beberapa saat, ia pun akhirnya bicara.

"Ini daerah apa namanya?" tiba-tiba ia bertanya seperti itu, berarti dugaanku benar, dia sedang mencari alamat. Aku pun menjawab,

"Ini kota Bogor, Bu. Memangnya Ibu mau kemana dan dari mana?" aku balik bertanya.

"Saya dari Cirebon, Pak!" jawab wanita muda yang sedang hamil itu. Aku geleng-geleng kepala melihat wanita sedang hamil tua dalam keadaan mencari alamat.

"Saya kemari mau cari pacar saya!" katanya lagi.

Tambah bingung aku ketika ia mengatakan mencari pacarnya (bukan suami).

"Emang alamat pacarnya di mana?" tanyaku lagi.

"Gak tau, Bang!" 

Kini ia memanggil abang kepadaku, awalnya bapak.

"Katanya, dia sedang berada di Bogor. Tapi aku gak tahu di mana Bogornya. Dia ngasih alamat gak jelas, Bang!"

Aku diam, "Sial," batinku. Udah narik lagi sepi, segala ketemu sama orang keder. Aku merutuk di dalam hati sambil berteriak lantang memanggil calon penumpang, "Benda, benda, benda ...." Maksudnya Salabenda, nama daerah di kota Bogor.

Dia belum beranjak turun dari mobilku. Masih saja mengelus perutnya yang buncit. 

"Hamilnya udah berapa bulan, Mbak?" aku memberanikan diri bertanya seperti itu. Dan kini aku memanggilnya 'Mbak', awalnya 'Ibu', karena aku pikir ia masih terlihat muda, sekira usia dua-puluhan.

"Tujuh bulan, Bang!" jawabnya. Benar perkiraanku. Hamil tujuh bulan, berarti tinggal dua bulan lagi wanita itu akan melahirkan.

"Itu, yang Mbak cari suami apa pacar?" ku coba bertanya menyelidiki.

"Pacar, Bang!"

"Itu, dengan kehamilan, Mbak?" aku nekat bertanya demikian.

Sambil mengelus perutnya wanita itu menjawab, "Justru itu, aku kemari untuk mencari pacar saya, yang tiba-tiba menghilang dua minggu lalu!"

"Tadinya tinggal sama orangtua?"

"Gak Bang, aku ngontrak sama pacarku di Jakarta. Semenjak aku hamil, aku gak ngasih kabar sama kedua orangtuaku."

"Lah, kok bisa begitu?!" aku bingung.

"Iya karena orangtua tidak setuju. Akhirnya aku memutuskan untuk lari dari rumah dan mengontrak di Jakarta, dan hidup sama pacarku tampa ikatan nikah!"

Jelaslah, kini aku mengerti. Mereka adalah pasangan 'kumpul kebo' Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah pacarnya kabur dan tidak mau bertanggung jawab setelah pasangannya hamil tua.

"Emangnya gak bisa dihubungi, di telepon gitu?" aku bertanya lagi.

"Sudah tiga hari gak aktif nomernya. Di sms pun gak dibalas. Dia hanya bilang sewaktu masih aktif, "Aku sedang berada di Bogor, kerja, katanya."

Aku garuk-garuk kepala, bingung dengan wanita ini. Jika aku suruh turun paksa, aku gak tega lihatnya. "Sial," rutukku sekali lagi.

Mobilku sudah terpenuhi oleh penumpang yang akan menuju Salabenda. Tidak seberapa banyak, tapi lumayan serit bisa nambah-nambahin setoran. 

Aku bertanya lagi, "Jadi, Mbak mau kemana?"

Dia menjawab, "Gak tahu, seterah Abang aja, meskipun turun, aku gak punya ongkos Bang, untuk meneruskan perjalanan.

"Kena dah!!!" batinku

Aku pun menyerahkan beberapa uang dan kuberikan kepadanya untuk ongkos. Tapi dia menolak lalu berkata,

"Bang, kalau boleh, aku untuk sementara tinggal di rumah Abang. Biar pun aku balik ke kontrakan di jakarta, gak akan Bang. Soalnya aku lari dari kontrakan dengan meninggalkan uang keterlambatan selama dua bulan."

Aku diam, sambil kujalankan mobilku perlahan dan melirik kekiri untuk mencari penumpang lainnya. Jika wanita ini aku bawa pulang, bagaimana dengan perasaan istriku. Apakah istriku mau menerimanya?.

Satu rit lumayan ramai penumpang hingga sampai ke Salabenda. Aku berhenti sejenak di warung rokok untuk menawarkan minuman. Dia tampak haus, lalu aku tawarkan makan, ia mengangguk dan kami pun makan di warteg. 

Sambil makan aku berpikir, apakah harus aku bawa pulang dulu kerumah untuk memperkenalkan dengan istriku. Tapi bagaimana dengan cemohoan orang lain, jika melihat aku membawa wanita hamil yang tampa suami. "Ah, sungguh apes hari ini!"

Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah pepatah yang tepat untukku. Sudah narik sepi penumpang, pulang gak bawa uang, malah membawa orang hamil. Mau tidak mau, akhirnya aku pun menghantarkan pulang ke rumahku dan memperkenalkan dengan istriku.

Awalnya istriku sedikit masam. Tapi setelah aku ceritakan, akhirnya ia menerima juga wanita itu untuk tinggal sementara bersama kami.

Selang berapa hari, benar saja, banyak omongan dari tetangga yang membuat telingaku panas. Namun aku dan istriku tidak perduli. Kami hanya niat ingin membantu wanita malang itu.

Ia bercerita tidak akan pulang ke rumah orangtuanya, karena malu. Orangtua di kampung sebagai orang terpandang di mata masyarakat. Apa jadinya jika ia pulang membawa janin yang ada di dalam perutnya tampa ada suami. Tentu akan mencoreng nama baik, kedua orangtua.

Aku mengerti apa yang ia maksud. Sepertinya ia ingin melahirkan di sini. Setelah lahir, ia akan kembali ke kampung halaman. Tapi aku berujar lagi padanya.

"Meskipun sudah lahir, lantas anaknya mau dikemanakan. Sudah pasti akan ketahuan juga."

Sontak dia berkata, "Cari yang ingin mengadopsi anak ini. Aku ikhlas anak yang aku kandung menjadi milik orang lain!"

Keputusan bulat sudah di sepakati. Aku pun segera mencari orang yang ingin mengadopsi anaknya. 

Akhirnya, tak jauh dari rumahku, sepasang suami istri yang memang tidak memiliki anak, setuju ingin mengadopsi anak itu. Perjanjian di buat, jika nanti lahir, anak itu akan menjadi milik kedua pasangan itu. Semua biaya persalinan akan ditanggungnya dari tujuh bulan sampai selamat melahirkan.

Dua bulan pun berlalu, selama dua bulan itu, wanita itu tinggal bersama orang yang ingin mengadopsinya. Dua bulan wanita itu tinggal bersamanya. Hingga pada saatnya, bayi itu pun lahir dengan selamat.

Setelah sehat kembali sehabis melahirkan. Ia pun pamit untuk pulang ke kampung halaman menemui orangtuanya. Tentu dengan aib tertutupi seolah-olah ia masih gadis.

Perlu diketahui, ketika ia berpisah dengan anak yang keluar dari rahimnya. Perpisahan yang sangat mengharukan. Ia tidak henti-hentinya menangis. Tapi semua sudah takdirnya dan takdir anak itu.

Sekian

~~~

Terinpirasi, cerita teman sebagai supir angkot jurusan Salabenda-Pasar Anyar Kota Bogor.


Tulisan ini di posting di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar